Belakangan ini, umat islam di Indonesia dihebohkan dengan beberapa fenomena yang membingungkan sekaligus memprihatinkan. Fenomena pertama yakni beredarnya video penjual makanan yang viral dengan bahan utama daging babi namun yang pembeli yang memadati resto tersebut mayoritas berkerudung yang mengindikasikan bahwa mayoritas adalah muslim. Selain itu, pernah juga heboh jika penjual nasi yang berbahan dasar daging babi juga ternyata seorang muslimah. Fenomena ini tentu saja menjadi perdebatan di kalangan masyarakat mengenai kepatuhan terhadap hukum halal dan dampak sosial dari praktik tersebut  (Jakiyudin, 2023). Padahal sudah mafhum bahwa keharaman daging babi dan turunannya merupakan hal mendasar yang bahkan menjadi perkara al-Ma’lum min ad-Din bi adh-Dharurah yang bermakna suatu perkara yang dapat diketahui dengan tanpa melalui proses penelitian dan pendalaman. Jadi semua muslim bahkan nonmuslim faham bahwa babi itu haram dikonsumsi oleh umat islam. Bahkan tidak jarang, justru orang nonmuslim yang akan mengingatkan jika ada muslim yang tidak mengetahui jika makanan yang akan dikonsumsinya terbuat dari babi atau turunannya. Sehingga, munculnya fenomena muslim yang menjual dan mengkonsumsi makanan nonhalal menjadi pertanda bahwa munculnya kaum muslimin yang tidak lagi mempedulikan prinsip-prinsip agama dalam kehidupan.

Halal bagi seorang muslim bukan hanya sekedar kewajiban agama, tetapi juga berkaitan dengan identitas dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dalam lagi kehalalan segala sesuatu masuk kedalam tubuh seorang muslim akan berdampak secara jasmani maupun rohani serta erat pengaruhnya terhadap kehidupan baik dunia maupun akhirat. Halal sendiri sebenarnya tidak hanya dilihat dari sudut pandang fisik atau zatnya, tetapi harus juga dilihat dari sifatnya. Karena hal inilah, menjual produk yang tidak halal baik karena zatnya yaitu karena produk tersebut haram dikonsumsi (seperti: daging babi, minuman keras dll) maupun menjual produk yang tidak halal karena sifatnya (seperti produk palsu, barang curian dll) akan dihukumi sama yaitu dilarang. Secara otomatis karena penghasilan yang dihasilkan oleh transaksi semacam ini juga haram. Jadi konsumsi daging babi maupun makan makanan hasil penjualan daging babi sama-sama dihukumi sebagai perkara yang dilarang (haram).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015). Hadits tersebut menjelaskan bahwa konsumsi makanan maupun minuman yang diharamkan (baik zat maupun sifat) akan menghalangi doa seseorang untuk diterima oleh Allah. Padahal doa merupakan sarana penting untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon pertolongan-Nya dan menjadi upaya penyerahan diri kepada Sang Maha Pencipta. Doa juga merupakan senjata bagi seorang mukmin dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan. Jadi, bisa dibayangkan seseorang yang hidup didunia ini tanpa bimbingan apalagi pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala. Hal lain yang menjadi pengingat bagi seorang muslim untuk tidak mengkonsumsi apalagi menjual makanan yang haram adalah hadits “sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi). Tentunya hadits ini menjadi peringatan yang nyata akan bahaya konsumsi makanan yang tidak halal.

Meskipun demikian, munculnya fenomena muslim yang mengkonsumsi atau bahkan menjual makanan yang nonhalal sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda “Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari). Meskipun demikian bukan berarti fenomena ini dibiarkan tanpa adanya intervensi. Justru fenomena ini menunjukkan bahwa masih ada banyak tantangan dalam pemahaman dan penerapan prinsip halal-haram di kalangan umat Islam. Dakwah dalam bentuk edukasi terkait pentingnya halal-haram dalam kehidupan sehari-hari secara masif dan intensif akan menjadi media peningkatan kesadaran akan perhatian terhadap halal-haram dalam segala bidang serta dampaknya terhadap kualitas hidup individu dan masyarakat. Oleh karena itu, upaya dakwah harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih kreatif dan relevan agar masyarakat dapat memahami dan menginternalisasi nilai-nilai halal dalam kehidupan sehari-hari (irawan, 2023). Bahkan sebenarnya, masalah halal-haram tidak hanya berpengaruh terhadap individu tetapi juga terhadap kehidupan sosial. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda “Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462). Sehingga pentingnya kesadaran akan halal dan haram dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya bersifat individual, tetapi juga harus disampaikan secara kolektif. Bahkan jika perbuatan yang haram dilakukan terus menerus, dapat mengakibatkan kerusakan moral dan sosial yang lebih besar sehingga menyebabkan azab yang membinasakan sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits “Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim). Jangankan perbuatan haram yang dilakukan secara komunal, perbuatan haram yang dilakukan secara individu bisa menyebabkan turunnya azab sebagaimana firman Allah: Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya. (Q.S. Al-Anfal, Ayat 25). Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan ayat ini bahwa Allah memberikan peringatan kepada orang-orang beriman tentang datangnya fitnah, yaitu ujian dan bala, yang akan ditimpakan secara merata baik orang yang buruk atau yang lainnya, tidak khusus pada pelaku maksiat saja dan pelaku dosa, tetapi merata, yaitu di saat maksiat itu tidak dicegah dan tidak dihapuskan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kerusakan (perbuatan haram) yang sudah menyebar luas akan menyebabkan turunnya  azab yang bahkan menimpa orang-orang yang sholih. Sebagaimana hadits dari ibunda A’isyah radhiayallahu ‘anha bahwa Nabi bersabda: “Apabila telah nampak kerusakan di muka bumi, maka Allah akan turunkan siksa pada penghuninya.” Lalu ‘Aisyah menyangkalnya: “Bukankah penduduk bumi masih ada orang shalihnya?” Nabi menjawab: “Benar, kemudian bagi mereka berubah menjadi rahmat.” (HR. Ahmad).

Sehingga bisa disimpulkan bahwa terjadinya malapetaka merupakan buah akibat dari perbuatan manusia secara individu maupun  kolektif yang mengundang laknat dan murka Allah yang bukan hanya menimpa pelaku kedzaliman saja, melainkan termasuk orang-orang shalih sekali pun akan ikut menanggung derita karenanya. Orang dzalim binasa karena kedzalimannya, sedangkan orang shalih dibinasakan karena diamnya, bungkam diam seribu bahasa dan tidak mencegah kemaksiatan serta kedzalimannya. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami dan menerapkan prinsip dakwah dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari konsekuensi negatif baik di dunia maupun di akhirat.

References

Jakiyudin, A. H. (2023). Urgensi Literasi Moderasi Beragama Dalam Ruang Bermedia Sosial Perspektif Al Qur’an.Jurnal Penelitian. https://doi.org/10.21043/jp.v17i1.17148

Irawan, A. (2023).Strategi Dakwah di Era Kontemporer Dalam Perspektif Hadits. https://doi.org/10.31219/osf.io/n7bqu