Oleh: apt. Ardi Nugroho, M.Sc.
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh hasil penelusuran yang dilakukan oleh Indonesian Bussiness Post (IBP) mengenai nampan yang digunakan untuk program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Dalam penelusurannya ditemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku mengenai nampan untuk makanan yang digunakan dalam program MBG. Selain kualitas bahan (stainless steel) yang tidak sesuai kriteria karena menggunakan tipe 201 (non-food grade) sehingga berbahaya jika digunakan untuk makanan karena berisiko melepaskan logam Mangan jika digunakan untuk makanan panas dan asam, juga ditengarai diproduksi dengan menggunakan pelumas yang mengandung minyak babi. Hal ini tentu saja akan menjadi perhatian yang serius karena dikhawatirkan bisa berpengaruh terhadap makanan kehalalan dari yang disajikan. Namun, sejauh mana minyak babi yang digunakan sebagai pelumas mempengaruhi aspek kehalalan ditinjau dari sudut pandang fikih???
Babi dan semua hal yang dihasilkan dari bagian tubuh babi dihukumi najis dalam Islam oleh mayoritas Ulama sehingga haram untuk dikonsumsi. Namun, yang membedakan adalah tingkat najis dari babi dan turunannya.
- Sebagian ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa babi dan turunannya merupakan najis berat (mughallazhah) sehingga harus dicuci tujuh kali dan salah satunya dengan tanah/debu. Hal ini merupakan Qiyas keharaman Babi dengan Anjing. Sebagaimana disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj. Beliau rahimahullah menyatakan, “Sesuatu yang menjadi najis karena terkena bagian dari anjing, maka dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Yang tampak, harus dengan tanah (tidak boleh diganti dengan yang lain). Dan babi sama seperti anjing”. Selain itu, dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah disampaikan bahwa, “Menyucikan wadah jika anjing minum di dalamnya adalah dengan cara dicuci tujuh kali dan salah satunya dengan tanah menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, berdasarkan hadits: “Jika seekor anjing minum di bejana kalian maka cucilah tujuh kali.” Dalam riwayat lain: “Sucikanlah bejana kalian jika anjing minum padanya dengan tujuh kali cucian dan awalnya dengan tanah”. Mereka mengatakan jika telah shahih hal ini atas anjing, maka babi lebih layak disikapi seperti itu, sebab kenajisannya lebih berat dan keharamannya lebih tegas.(1)
- Pendapat kedua menyatakan bahwa najis dari babi dan turunannya cukup dicuci tiga kali untuk mensucikannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi. Sebagaimana tertera dalam Al-Mausu’ah, “Menurut Hanafiyah cara menyucikan bejana yang mana babi minum padanya adalah dengan dicuci tiga kali”. Artinya tidak perlu pakai pasir/tanah dan tujuh kali cucian, Bahkan menurut pendapat ini, pencucian dengan sabun lebih sempurna lagi. (2)
- Pendapat ketiga menyatakan bahwa najis dari babi dan turunannya sama seperti najis mutawasittah (sedang) sehingga cukup dicuci sekali saja. Ini juga adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan menurut Imam An-Nawawi inilah pendapat yang lebih shahih. Imam An-Nawawi menjelaskan, “Mayoritas ulama mengatakan bahwa najis babi tidak perlu dicuci tujuh kali, ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, dan dalilnya kuat”. Namun, beliau (Imam An-Nawawi) menjelaskan, “Ketahuilah bahwa yang rajih (lebih kuat dalilnya) adalah cukup mencucinya sekali saja tanpa tanah. Inilah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan najisnya babi. Inilah pendapat yang terpilih. Sebab, hukum asalnya adalah tidak ada kewajiban sampai adanya dalil syariat”. (2)
- Pendapat terakhir menyebutkan bahwa babi dan turunannya tidak perlu dicuci, karena tidak najis. Ini pendapat Malikiyah, yaitu jika babi itu masih hidup maka suci yaitu kulit dan bulunya. Kalau pun dicuci karena faktor kebersihan saja, bukan karena itu najis. Hal Ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Sayyid Sabiq, dan lain-lain. Malikiyah mengatakan tidak najisnya bulu babi, hal karena liurnya babi suci menurut mereka. Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Dan pendapat yang kuat adalah sucinya bulu seluruh hewan: bulu anjing, babi, dan selain keduanya. Sedangkan liur terjadi perbedaan pendapat.” Apa alasan beliau? “Hal itu karena asal dari berbagai benda adalah suci, maka tidak boleh menajiskan sesuatu dan mengharamkannya kecuali dengan dalil.” Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan, “Dibolehkan membuat benang dari bulu babi menurut pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama”. Dalam Syarhush Shaghir beliau menyatakan, “Kalangan Malikiyah berpendapat sucinya babi secara zat dalam keadaan hidup, hal itu karena hukum asal segala hal yang hidup adalah suci”. Lalu disebutkan, “Maka sucinya zat babi karena sebab hidupnya, demikian juga sucinya keringat, air liur, dan ingusnya. Adapun ketika babi itu mati (bangkai) maka najis seluruh bagian tubuhnya baik luar dan dalamnya, dan sepakat semua imam atas hal itu”. (2)
Diluar pembahasan dari pendapat-pendapat fikih tersebut, berhati-hati merupakan hal yang paling utama agar tidak terjatuh pada sikap “bermudah-mudahan”. Selain itu, perlu pula memperhatikan madzhab yang dianut oleh mayoritas penduduk sekitar atau bahkan madzhab resmi yang dianut di suatu wilayah atau negara agar tidak menimbulkan kebingungan yang meresahkan kaum muslimin.
Wallahu a’lam bis shawwab
(1) https://muslim.or.id/27647-pencucian-benda-yang-terkena-babi-harus-dengan-tanah.html
(2) https://alfahmu.id/menghilangkan-najis-babi-pada-wadah-dan-badan/