Sertifikasi halal merupakan kewajiban untuk semua produk yang beredar di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014. Namun, untuk penerapannya memang  dilakukan secara bertahap. Berdasarkan pasal 160 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 yang mengatur penahapan kewajiban bersertifikat halal menyebutkan bahwa penahapan kewajiban sertifikasi halal untuk usaha menengah dan besar produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan berlaku hingga 17 Oktober 2024. Sedangkan untuk usaha mikro dan kecil, penahapan kewajiban sertifikat halal berlaku hingga 17 Oktober 2026. Jadi, belum berlaku kewajiban sertifikasi halal untuk usaha mikro dan kecil. Usaha mikro dan kecil sendiri didefinisikan sebagai usaha dengan penghasilan dibawah 2,5 miliar dan jenis usaha ini merupakan mayoritas pelaku usaha di Indonesia dengan jumlah sekitar 64 juta unit serta merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk memberikan dukungan dan edukasi kepada UMKM mengenai proses sertifikasi halal untuk meningkatkan daya saing produk, terutama dalam memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin sadar akan pentingnya produk halal (Ismail et al., 2024).

Namun, sertifikasi halal untuk UMKM bukanlah perkara yang sederhana. Hingga tahun 2025, baru sekitar 30% dari pelaku UMKM yang telah mendapatkan sertifikat halal  (Fauza et al., 2024). Hal ini tentu menjadi tantangan, khususnya untuk pemerintah, MUI maupun pegiat halal untuk meningkatkan jumlah sertifikasi halal di level UMKM. Sehingga diperlukan strategi dan tentunya kolaborasi yang efektif dari semua untuk meningkatkan pemahaman dan aksesibilitas bagi pelaku UMKM dalam mendapatkan sertifikat halal, termasuk program edukasi dan pendampingan yang komprehensif (Ismail et al., 2024)  (Listiasari et al., 2024).

Beberapa kendala yang sering dihadapi oleh UMKM dalam melakukan sertifikasi halal, antara lain:

  • Kurangnya pemahaman tentang prosedur pengurusan sertifikat halal (Ismail et al., 2024). Hal ini merupakan kendala utama dalam sertifikasi halal ditingkat UMKM. Banyak UMKM yang mengira bahwa sertifikasi halal merupakan proses yang rumit dan mahal sehingga enggan melakukan proses tersebut. Ditambah lagi banyaknya berita-berita miring maupun hoax dimedia sosial tentang sertifikasi halal menambah skepsititas UMKM untuk melakukan sertifikasi halal. Bahkan berdasarkan penelitian di Surakarta (Huda, 2012) mengungkap 72% pemilik rumah makan menganggap sertifikasi halal “ribet” dan “tidak prioritas”. Mereka sering mengklaim bahan yang digunakan “sudah halal” tanpa bukti dokumen. Apalagi jika dibandingkan dengan proses sertifikasi halal untuk industri besar yang terkesan kompleks dan rumit tentunya semakin mengecilkan keinginan untuk melakukan sertifikasi halal. Padahal pemerintah sudah memfasilitasi sertifikasi halal untuk UMKM melalui program self-declare. Self-declare adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh pelaku usaha mikro dan kecil atas kehalalan suatu produk. Menurut regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, pernyataan pelaku usaha didasarkan pada standar halal, paling sedikit terdiri atas:
    • Adanya pernyataan pelaku usaha yang berupa akad/ ikrar yang berisi: (i) Kehalalan produk dan bahan yang digunakan, dan (ii) Proses produk halal (PPH)
    • Adanya pendampingan PPH Berdasarkan standar halal tersebut, peran pendamping PPH sangat penting dalam proses sertifikasi halal secara self declare.
  • Kurangnya pengawasan terhadap peredaran produk baik yang sudah tersertifikasi halal, belum tersertifikasi halal bahkan produk nonhalal. Dalam hal ini harus diakui bahwa kinerja BPJPH dan elemen-elemen sertifikasi halal memeng jauh dari kata optimal. Kita sering menemukan produk yang belum tersertifikasi halal namun mencantumkan logo halal. Tak jarang pula logo halal yang digunakan pun abal-abal. Padahal hal tersebut tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebutkan bahwa pelanggaran dalam labelisasi atau iklan dapat dihukum dengan denda paling tinggi Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dan atau pencabutan izin produksi atau izin usaha. Bahkan, berdasarkan Pasal 56 UU No. 33 tahun 2014 pelanggaran dalam penggunaan label halal dapat dikenai denda administratif hingga 2 miliar dan pelaku bisa dipidana penjara 5 tahun. Meskipun demikian, hal ini sudah diminimalisir dengan berbagai kemudahan untuk memeriksa keaslian logo halal maupun no registrasi halal, diantaranya:
  • Melalui Website BPJPH:
    • Buka website resmi BPJPH
    • Cari menu atau fitur yang memungkinkan untuk pengecekan produk halal
    • Masukkan nama produk, merek, atau produsen yang ingin dicari
    • Cek informasi yang ditampilkan untuk mengetahui status halal produk tersebut, termasuk masa berlaku sertifikat
  • Melalui Website LPPOM MUI:
    • Buka website resmi LPPOM MUI
    • Cari menu atau fitur untuk pengecekan produk halal
    • Masukkan nama produk, merek, atau produsen yang ingin dicari.
    • Cek informasi yang ditampilkan untuk mengetahui status halal produk tersebut, termasuk masa berlaku sertifikat.
  • Melalui Aplikasi Halal MUI:
    • Unduh aplikasi Halal MUI dari Google Play Store atau App Store.
    • Buka aplikasi dan cari menu untuk pengecekan produk halal.
    • Masukkan nama produk, merek, atau produsen yang ingin dicari.
    • Cek informasi yang ditampilkan untuk mengetahui status halal produk tersebut, termasuk masa berlaku sertifikat.
  • Melalui Call Center atau WhatsApp LPPOM MUI: Dengan menghubungi call center LPPOM MUI di nomor 14056 atau melalui WhatsApp di nomor 08111148696 untuk menanyakan status kehalalan produk.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah penegakan hukum yang adil dan jelas bagi pelanggaran terhadap sertifikasi halal. Baik berupa label halal palsu maupun produk yang tidak sesuai dengan registrasi halal. Seperti kasus yang belum lama terjadi, yakni adanya minuman wine yang mengandung alkohol hingga 15% namun bisa tersertifikasi halal melalui self-declare. Ternyata setelah diusut, terjadi pelanggaran yang berupa pemalsuan data produk. Produk tersebut didaftarkan sebagai jus anggur tanpa adanya fermentasi. Tetapi kenyataannya, jus tersebut difermentasi sehingga menjadi berubah sifat dan kandungan alkoholnya. Jika pelanggaran-pelanggaran seperti ini dibiarkan, tentunya akan menurunkan kepercayaan terhadap sertifikasi halal di level UMKM dan tidak menutup kemungkinan akan semakin marak UMKM yang menyalahgunakan celah ini untuk memalsukan produk ketika di sertifikasi halal. Terkait pelanggaran dalam sertifikasi halal, perlu adanya kerjasama antara pemerintah, lembaga sertifikasi, dan pelaku usaha untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap regulasi yang ada. Edukasi yang intensif dan penegakan hukum yang tegas akan membantu mengurangi pelanggaran dan meningkatkan integritas sertifikasi halal di kalangan UMKM (Ismail et al., 2024).

References

Ismail, V. Y., Annisa, I. T., & Roswiem, A. P. (2024). Sertifikasi Halal Produk Untuk Peningkatan Daya Saing Usaha Pada UMK di Desa Ciseeng.Al-Ihsan. https://doi.org/10.33558/alihsan.v3i2.10161

Fauza, A. S., Putra, F. A. A., Masuara, T. M. D., Bahi, A. A. P., & Annur, G. Y. (2024). Pendampingan Pendaftaran Sertifikat Halal Bagi UMKM Desa Pasirjambu Ciwidey. Jurnal Abdimas Le Mujtamak. https://doi.org/10.46257/jal.v4i2.1099

Listiasari, F. R., Kuntari, W., Hastati, D. Y., & Nuraeni, A. (2024). Sertifikasi halal melalui self declare oleh umkm untuk mendukung industri wisata halal.Seminar Nasional Pariwisata Dan Kewirausahaan (SNPK). https://doi.org/10.36441/snpk.vol3.2024.284